Rabu, 17 November 2010

Rodinia, Pangaea, Laurasia dan Gondwana

Seberapa sering kita membaca atau mendengar istilah seperti Rodinia, Pangaea, Laurasia dan Gondwana? Hanya sesekali? Kemungkinan besar memang demikian, karena sejarah geologi Indonesia, terutama di bagian barat, lebih didominasi istilah-istilah seperti Kenozoik; Tersier dan Kuarter; Paleosen, Eosen, Oligosen, Miosen, Pliosen, Pleistosen dan Holosen. Kebetulan, umur geologi batuan-batuan yang sering kita jumpai pada saat masih kuliah dan ketika bekerja berkisar antara 60 juta sampai sekitar 2 juta tahun yang lalu, kira-kira Paleosen =96 Pliosen, saat Gondwana sudah terpecah dan dipisahkan oleh Samudera Hindia.

Rodinia adalah superkontinen tertua yang jejak geologinya masih bisa dilacak oleh para ahli geologi. Superkontinen ini jauh lebih tua daripada Pangaea, tetapi masih lebih muda daripada superkontinen Columbia (1800-1500 juta tahun) dan Vaalbara (3600 juta tahun). Walaupun lebih muda, Rodinia dipercayai bukan hanya sebuah hipotesis lagi, tetapi betul-betul pernah ada.

Nama Rodinia sendiri dipopulerkan oleh Dalziel (1991), Moores (1991) dan Hoffman (1991). Rodinia adalah kata dalam bahasa Rusia yang berarti “motherland” (tanah ibu/leluhur). Konon, Rodinia mulai terbentuk sekitar 1400 juta tahun yang lalu (Ma), pada saat 3 sampai 4 kontinen mulai menyatu. Konon lagi, pada sekitar 1000 Ma si Rodinia ini sudah jelas terkonsolidasi banget, yang ditunjukkan oleh pembentukan sebuah rangkaian pegunungan. Para ahli menyebut proses pembentukan rangkaian pegunungan itu dengan nama Grenville Orogeny.

Istilah Grenville Orogeny diambil dari sebuah komplek batuan metamorf terdeformasi yang ditemukan di kota Grenville, Quebec, Canada. Grenville Province, demikian nama geologi komplek batuan metamorf itu, tersebar memanjang sampai ke wilayah Texas sekarang. Batuan Grenville Province didominasi oleh Gneiss dan dipercaya juga berada di Brazil bagian barat, menjadi bagian dari kraton Amazonia (Tohver et al., 2002), tapi diberi nama lain oleh para ahli geologi, Formasi Nova Floresta.

Rekonstruksi para ahli geologi yang penuh dengan imajinasi, seperti Torsvik (2003) menunjukkan bahwa kraton Amerika Utara bernama Laurentia berada di posisi tengah menyusun superkontinen Proterozoik Rodinia. Laurentia dipercaya sebagai pusat superkontinen Rodinia, sedangkan disebelah barat laut Laurentia ada kelompok benua Australia, Antartika dan India. Di sebelah barat daya Laurentia ada blok Kongo dan Kalahari, sedangkan di sebelah tenggaranya ada blok Amazonia dan Afrika Barat. Di sebelah timur ada blok Baltika dan terakhir di sebelah timur laut ada blok Siberia dan Cina Utara. Posisi dan bentuk superkontinen Rodinia yang barusan dideskripsikan ditengarai ada pada sekitar 750 Ma.

Konon untuk kesekian kalinya, sekitar 700 Ma Rodinia mulai terpecah menjadi beberapa blok superkontinen yang lebih kecil (Rogers, 1996). Perlahan-lahan Australia-Antartika Timur memisahkan diri dari bagian barat Laurentia, lalu blok-blok lain menyusul, sampai sekitar 600-550 Ma, blok Baltika dan Amazonia ikutan cabut. Proses pemisahan Rodinia ini berlangsung selama ratusan juta tahun dan menghasilkan 3 blok utama, yaitu Gondwana Barat, Gondwana Timur dan Laurasia. Gondwana Barat meliputi bagian timur Amerika Utara, Atlantik dan Afrika Barat, sedangkan Gondwana Timur mencakup bagian tenggara Afrika, Madagaskar, India, Sri Lanka, Australia dan Antartika. Kedua Gondwana dipisahkan oleh laut yang sekarang sudah tertutup dan menjadi lokasi East African Orogen, yang memanjang dari Arab sampai ke Mozambique.

Gondwana Barat dan Gondwana Timur kemudian menyatu kembali pada sekitar 540 Ma, ketika proses pembentukan rangkaian pegunungan East African (Pan-African Orogeny) terjadi. Rangkaian pegunungan Afrika Timur ini memanjang dari Arab Saudi ke Yaman sampai Mozambique. Penggabungan Gondwana Barat dan Timur ditengarai berlangsung selama Era Paleozoik, selama sekitar 250 juta tahun, sampai saat pembentukan superkontinen Pangaea sekitar 300 Ma, dimana Gondwana Barat, Gondwana Timur dan Laurasia menyatu kembali.

Jadi, jika tanah kering pada Era Mesoproterozoik dan Neoproterozoik diberi nama Rodinia, apakah nama yang diberikan untuk laut pada saat itu? McMenamin (1998) menuliskan bahwa ia dan rekannya telah menggunakan nama Mirovia untuk menyebut samudera yang mengelilingi Rodinia. Mirovia berasal dari kata Mirovoi, bahasa Rusia, yang berarti“global”. Sebuah lautan maha luas yang mengelilingi sebuahsuperkontinen.

Alfred Wegener & Teori Continental Drift


Tiga abad sebelum ALFRED LOTHAR WEGENER (1880-1930) membuktikan bahwa kemiripan garis pantai sebelah timur benua Amerika Selatan dengan pantai sebelah barat benua Afrika terjadi karena kedua benua itu pernah “bersatu”, ABRAHAM ORTELIUS pembuat peta asal Belanda telah mengamati fenomena yang sama dan berpendapat bahwa Amerika dipisahkan dari Eropa dan Afrika oleh gempa bumi dan air bah (1596).

Kemudian pada tahun 1858, seorang geografer bernama ANTONIO SNIDER-PELLEGRINI membuat 2 kartun model yang menunjukkan posisi dan bentuk benua Amerika Selatan dan Afrika sebelum dan sesudah terpisah. Modelnya aneh, terutama bentuk bagian selatan Argentina/Chile. Di kartun model versi Snider-Pellegrini ini, bagian Patagonia digambarkan tertekuk melengkung dari arah barat ke selatan kemudian ke timur dan berbalik ke utara, melingkari bagian selatan Afrika dan ujung Patagonia dibuat hampir menyentuh Madagaskar. Entah Snider-Pellegrini serius atau tidak saat mengerjakan kartunnya, imajinasinya secara tidak langsung juga telah menunjukkan bahwa Amerika Selatan dan Afrika dulu pernah berdampingan.

Tapi imajinasi kedua orang yang baru diceritakan di atas tak pernah dilontarkan menjadi sebuah teori ilmiah sampai sekitar tahun 1910an. Pada musim gugur tahun 1911, saat sedang menghabiskan waktu di perpustakaan Universitas Marburg (Jerman), Wegener menemukan makalah palaeontologi tentang kesamaan jenis fosil-fosil tumbuhan dan hewan di Amerika Selatan dan Afrika, padahal, kedua benua itu dipisahkan oleh Samudera Atlantik yang luas. Rasa penasaran Alfred Wegener membuatnya mencari lebih banyak informasi mengenai kesamaan-kesamaan fosil di dua tempat terpisah tersebut, hingga akhirnya ia berpikir, “Mungkinkah kesamaan fosil-fosil di kedua sisi Atlantik terjadi karena dulu benua Afrika dan Amerika adalah satu kontinen?”

Menurut para ahli geologi saat itu, model evolusi pembentukan Samudera Atlantik cuma sederhana saja. Gundu bulat disangka baut, dahulu darat sekarang laut. Penyebabnya? “Cuma” karena “jembatan penghubung” kedua daratan itu kolaps kemudian sekarang menjadi dasar laut. Sadar akan model sederhana ini telah diterima sebagai sebuah kebenaran, Wegener berusaha mencari bukti-bukti geologi lebih banyak untuk mendukung teori yang hendak ia lemparkan ke forum ilmiah. Ia pun menemukan bahwa Pegunungan Appalachian di bagian timur Amerika Utara tersambung dengan dataran tinggi Skotlandia (Highlands) dan perlapisan batuan Karroo System di Afrika Selatan identik dengan perlapisan batuan Santa Catarina System di Brazil. Wegener kemudian menulis sebuah buku yang berjudul “The Origin of Continents & Oceans” (judul asli dalam bahasa Jerman) pada tahun 1915, di mana teori Continental Drift dipublikasikan.

Wegener, yang sebenarnya adalah seorang astronomer (Ph.D Universitas Berlin, 1904) dan bekerja sebagai meteorologist, tapi memiliki hobi di bidang ilmu kebumian, segera menjadi sasaran cemoohan ahli-ahli geofisika dan geologi kala itu. Ahli ilmu kebumian memang manusia yang aneh. Mereka cenderung sulit menerima sebuah teori baru, maupun sekedar sebuah pendapat lain atas keyakinan mereka sendiri, hanya karena mereka tidak tahu atau tidak paham tentang apa yang orang lain bicarakan. Ketika sudah merasa menjadi seorang ahli, mereka berpikir sudah tahu tentang segala hal, apalagi jika apa yang mereka bela adalah “kebenaran umum” yang berlaku. Padahal, jalan pikiran mereka hanya berdasar atas konsep-konsep ilmu kebumian, data-data dan teknik pengambilan data yang “ada” pada saat itu juga, bukan data dan alat baru yang ditemukan/diciptakan di masa depan.

Sikap emosional seorang ahli geologi bernama DR. ROLLIN T. CHAMBERLIN dari Universitas Chicago membuatnya menulis sebuah makalah berjudul “Some of the objections to Wegener’s theory” (1928) dan memulai tulisannya dengan pertanyaan, “Bisakah kita menyebut geologi sebagai sebuah ilmu jika ada perbedaan pendapat yang begitu hebat untuk hal-hal dasar hingga teori semacam ini terus berkeliaran?”. Dr. Chamberlin berpendapat bahwa hipotesis Wegener sama sekali tak berdasar dan fakta-fakta yang Wegener paparkan hanyalah fakta yang aneh dan buruk, seperti sebuah permainan tanpa peraturan. Masalah terbesar di teori Wegener yang membuat para ahli menolaknya adalah mekanisme perpindahan kontinen yang menurut Wegener terjadi karena daratan bergeser dengan dasar laut sebagai bidang pergeserannya. “Gaya sebesar apa yang bisa menarik daratan hingga terpisah begitu jauh di atas dasar laut sebagai bidang geser tanpa mematahkan dasar lautnya?” demikian tanya HAROLD JEFFREYS, ahli geofisika Inggris.

Ekspedisi-ekspedisi geologi dilakukan oleh Wegener pada tahun 1920, 1922 dan 1929 untuk mencari lebih banyak fakta guna mendukung teorinya. Dalam ekspedisi terakhir, Wegener tewas setelah berhasil mengantarkan suplai makanan kepada koleganya yang sedang melakukan penelitian di tengah belantara es Greenland, hanya beberapa hari setelah ulang tahunya yang ke-50. Kelak, seperti yang telah kita ketahui, berawal dari eksplorasi permukaan laut dan kerak bumi, teori Continental Drift Wegener menjadi embrio bagi teori Tektonik Lempeng, di mana kerak bumi baik kontinen maupun kerak samudera ternyata bergerak di atas asthenosfer jadi bukan di atas dasar laut seperti hipotesis Wegener.

Pangaea
Kontribusi Wegener bagi kelahiran teori Tektonik Lempeng di tahun 1960-an tentu tidak bisa diabaikan. Di buku “The origin of continents and oceans” edisi tahun 1920 (ada juga yang menyebutkan nama Pangaea sudah diperkenalkan sejak edisi 1915), Wegener berpendapat bahwa semua benua yang ada sekarang sebenarnya pernah bersatu sekitar 225 juta tahun yang lalu (Ma), yaitu pada Periode Trias Akhir (sudah masuk Era Mesozoik). Daratan maha luas ini ia beri nama Pangaea, sebuah kata dalam bahasa Yunani yang berarti “semua daratan”.

Rekonstruksi lempeng tektonik modern dengan menggunakan data palaeo-magnetik memperlihatkan Pangaea sudah menjadi daratan berbentuk seperti huruf “C” pada sekitar 255 Ma (Permian Akhir). Pusat superkontinen Permian ini adalah Afrika, sedangkan di sebelah barat
ada adalah Amerika Selatan, di baratlaut ada Amerika Utara, di utara dan timur laut ada Eropa, Asia dan Cina Utara, sedangkan di tenggara dan selatan ada India, Antartika dan Australia. Di sebelah timur? Ada lautan bernama Tethys, dan terakhir di sebelah timurnya Tethys, ada Cina Selatan. Sedangkan laut mahaluas yang mengelilingi Pangaea dinamakan Panthalassa. Pusat superkontinen Pangaea ditengarai berada di sekitar garis ekuator, kira-kira seperti posisi Indonesia sekarang (tentu saja secara garis lintang).

Apa bukti keberadaan Pangaea selain rangkaian-rangkaian pegunungan yang identik seperti Appalachian-Scottish Highlands dan Karroo-Santa Catarina Systems seperti yang dikemukakan pertama kali oleh Wegener (1915)? Jawabannya adalah fosil-fosil genus Lystrosaurus dan genus
Mesosaurus dan flora genus Glossopteris. Lystrosaurus adalah sejenis reptil pemakan tetumbuhan yang konon sebesar babi, dengan ekor lancip pendek, kaki pendek, daun telinga kecil dan kepala seperti harimau yang hidup pada Periode Permian-Trias. Entah palaeontologist mana yang berhasil merealisasikan imajinasi rupa Lystrosaurus ini, konon ia pernah hidup di Antartika, India, Afrika Selatan dan Cina.

Mesosaurus adalah sejenis reptil amfibi yang hidup di air tawar. Bentuknya kira-kira seperti cecak, tapi kepalanya seperti buaya, badannya fleksibel dan konon ekornya dapat digunakan sebagai semacam sirip untuk berenang. Tidak jelas berapa ukurannya dan hidup pada berapa juta tahun yang lalu. Fosil ini ditemukan di Brasil dan Afrika
bagian barat.

Superkontinen Pangaea lalu mulai terpecah pada Periode Trias Akhir-Juras (Vaughan & Storey 2007), menghasilkan dua superkontinen yang lebih kecil yaitu Laurasia dan Gondwana. Laurasia yang bergerak ke arah utara. Intra-continental rifting kemudian diikuti sedimentasi endapan darat lalu diisi oleh air laut, menjadi Laut Atlantik bagian utara. Rift basins yang terbentuk saat Pangaea pecah masih bisa dilihat di bagian Central Atlantic Margin, baik sebelah Amerika Utara
maupun Moroko (Olsen, 1997).

Kali ini cukup sekian dulu. Banyak sekali referensi yang bisa dibaca mengenai Pangaea, terutama tentang bukti-bukti yang lebih detil. Artikel ini masih umum sekali, baru memuat sedikit sejarah, deskripsi bentuk, bukti umum dan kapan Pangaea pecah. Minggu depan saya coba kumpulkan referensi lebih banyak untuk bercerita lebih panjang tentang Pangaea.

Tidak ada komentar: