Jumat, 19 November 2010

Gelar No, Ilmu Yes


Oleh: Jansen H. Sinamo
Di era 70-an Nurcholish Madjid terkenal dengan teriakannya: Politik No, Islam Yes. Kini teriakan senada harus dikumandangkan: Gelar No, Ilmu Yes. Ini perlu dilakukan karena masyarakat kita sudah sampai memberhalakan gelar kesarjanaan. Banyak orang bangga menyandang gelar-gelar mentereng itu tetapi sesungguhnya hampa bobot. Epidemi ini sekarang merambat lebih ganas karena banyak “mafia” berkedok dosen yang terjun menjadi penjaja gelar dengan harga terjangkau. Ironinya, sejumlah PTN ternyata juga terlibat praktik jual-beli gelar master atau doktor (Suara Pembaruan, 20 April).


Dari mana asal-usul wabah sosial ini? Awalnya dimulai ketika orang-orang tertentu tanpa risih menderetkan gelar S1, S2, S3 sekaligus, umpamanya Dr. Ir. Polan Polin, M.Sc. atau Dr. Polin Polan, SE, SH, MBA (sebenarnya cukup gelar tertingginya saja). Gelar berderet ini dianggap mampu meningkatkan derajat sosialnya. Dan, gayung pun bersambut hangat oleh masyarakat kita yang umumnya masih bermental hamba. Para penderet gelar itu mendapat sanjungan sosial.

Lanjutannya, tumbuhlah semacam keharusan baru untuk menulis dan memanggil nama orang lengkap dengan gelarnya. Dalam acara-acara resmi pemanggilan nama secara komplit menjadi protokol baru. Ingat saja saat voting di SU-MPR lalu, nama-nama anggota terhormat itu dipanggil serba lengkap. Saya perkirakan, durasi voting bisa berkurang sampai 25 % bila anggota MPR itu dipanggil dengan nama polos mereka saja. Namun bukan cuma di gedung MPR, di stasiun kereta api, bandara, ruang tunggu dokter, bahkan di rumah-rumah ibadah gelar-gelar akademis ini juga menjadi wajib panggil dan wajib tulis.

Keinginan dianggap hebat dan berkelas merupakan motivasi di balik kegemaran memasang gelar-gelar mentereng itu. Meskipun sampai dosis tertentu ambisi tersebut dapat dianggap sehat, namun dosis berlebihan jelas merupakan penyakit. Saya mengenal seseorang yang menulis gelar doktorandusnya bahkan di tikar, tong air, pantat gelas, pantat piring, punggung kursi, dan tembok rumahnya. Ini bukan lagi sekadar penyakit eksibisionisme, tetapi sudah berkomplikasi dengan rasa rendah diri akut. Di sini, sebuah gelar sarjana diharapkan mampu mengobatinya.

Harus diakui, para sarjana Indonesia tidak mau dianggap biasa, bersahaja. Mereka itu hebat. Sedihnya, meskipun tidak hebat tetapi ingin dianggap hebat.

Di dunia bisnis misalnya, sejak Tanri Abeng naik daun dengan gelar MBA-nya pada dekade 80an – dan dijuluki manajer satu milyar – maka kerabat gelar itu seperti MM atau MBM menjadi gengsi baru yang didambakan orang. Dengan titel MBA seseorang menjadi ningrat baru dalam kerajaan bisnis. Biasanya untuk menopang gengsi itu ditampilkan pula sebuah gaya hidup mewah.

Di fihak lain, anggota masyarakat yang tidak sempat bergelar ikut-ikutan naik birahi memiliki gelar dengan upaya-upaya tidak terpuji termasuk membeli ijazah palsu. Dan syahwat masyarakat ini semakin tidak tertahankan tatkala kesempatan memiliknya dengan seolah-olah sah -- tapi sebenarnya tidak autentik -- dimunculkan oleh lembaga-lembaga penjaja gelar. Sejak itulah orang bisa mendapatkan gelar BA, MA, PhD; BSc, MSc, Dr; atau BBA, MBA, DBA asal membikin resume cantik, ikut tutorial singkat, membayar beberapa juta, dan melancong sambil wisuda ke Amerika.

Amerika memang negeri yang sangat kreatif. Kita bisa mejeng sebagai Man of the Year di majalah Time misalnya dengan berfoto di emper toko dan membayar US$8. Tapi kreativitas begini memang sekadar lucu-lucuan. Itu sebabnya majalah Time yang asli tidak pernah memprotes praktik itu karena semua orang tahu bahwa itu memang ecek-ecek (dialek Medan yang artinya main-main, pura-pura, tidak serius).

Sayangnya wisudawan aspal dari Amerika di atas, tidak merasa bahwa lakon mereka itu sebenarnya ecek-ecek. Dengan gagahnya gelar-gelar itu kemudian dicetak di kartu nama. Bahkan ada yang berani naif-tanpa-malu memasangnya di iklan surat kabar.
Mestinya badut-badut akademis itu jadi bahan tertawaan. Tapi aneh bin ajaib, di negeri ini orang demikian malah dikagumi dan diteladani ramai-ramai.

Pertanda apa ini? Bagi saya, tak bisa lain, inilah masyarakat yang sakit. Rupanya, bukan cuma si doktor atau si master ecek-ecek saja yang sakit. Semua kita sudah sakit.
Contoh getir sudah saya alami sendiri. Suatu saat saya diundang oleh sebuah universitas swasta memberi ceramah. Karena saya memang tidak pernah mencantumkan gelar, tanpa sepengetahuan saya, panitia memasang MBA (padahal tak punya) di belakang nama saya pada spanduk, undangan, dan sertifikat seminar. Ketika saya persoalkan, mereka berkilah, janggal seorang penceramah dan direktur sebuah institut hanya bernama polos. Saya cuma bisa tersenyum kecut. Jika dunia akademis saja tidak lagi percaya pada kekuatan kompetensi teknis (itu sebabnya saya diundang) – lalu menggantungkannya pada wibawa sebuah gelar – kita bisa membayangkan apa yang terjadi di masyarakat.

***

Apakah mungkin menyembuhkan penyakit ini? Yang jelas, tak ada gunanya melarang dengan sebuah SK menteri apalagi dirjen. Mereka pandai berkelit dan lihai membenarkan diri.

Hemat saya, pertama-tama, kita harus berani berteriak bahwa gelar mereka itu cuma ecek-ecek, tidak sejati, tidak autentik. Dalam kaitan ini, media harus memberi tempat pada teriakan semacam ini. Jangan sebaliknya malah mengambil untung dengan memberi ruang bebas pada iklan mereka. Minimal, iklan gelar ecek-ecek harus diperlakukan sama dengan iklan kondom.

Kedua, instansi publik termasuk perusahaan harus menyisir lebih ketat supaya pemilik gelar ecek-ecek jangan sampai masuk melalui proses rekrutmen. Jika lolos juga dan belakangan ketahuan, agar dipecat secara tidak hormat dengan delik penipuan.
Ketiga, agar pemilik gelar sejati berusaha menahan diri memamerkan gelarnya. Tak usahlah memasang gelar jika bukan dalam konteks akademik. Mudah-mudahan pemilik gelar ecek-ecek itu jadi sungkan dengan kerendahan hati para sarjana sejati. Gerakan hemat-memakai-gelar ini perlu diperluas sekaligus agar gelar-gelar sejati itu kembali mendapat kehormatan yang layak. Bukankah bintang kehormatan semacam Jalasena tidak dipakai orang sehari-hari tetapi pada acara khusus saja? Dalam kaitan ini, saya menyatakan respek kepada Kusmayanto Kadiman, Rektor Institut Teknologi Bandung. Ketika kami berseminar dua bulan lalu di Jakarta, ia wanti-wanti agar gelar akademisnya tak usah dipasang. Saat saya tanya alasannya kemudian, ia menjawab dalam rangka silent protest bagi gelar ecek-ecek. Ini sebuah contoh yang saya maksudkan.

Diharapkan, jika semakin banyak orang sadar bahwa gelar ecek-ecek bergentayangan di masyarakat, mereka akan malu menggunakannya sehingga berkurang dengan sendirinya. Bisnis jual beli gelar boleh tetap ada, bahkan mereka berhak hidup sama seperti bisnis-kaki-lima Man of the Year majalah Time. Tetapi semua kita sepakat bahwa itu just for fun, cuma ecek-ecek. Jika toh ada orang yang mau membayar lima juta untuk kegiatan ecek-ecek, dalam konteks ini, hal itu sah-sah saja.

***

Namun mengusulkan hal di atas sebenarnya sekaligus menepuk air di dulang ke muka universitas-universitas kita. Pertama, jumlah sarjana penganggur (gelarnya bukan ecek-ecek) sudah mencapai 500.000 orang dan bertambah 50.000 setiap tahun (Kompas, 22 April).

Sementara itu instansi resmi, khususnya perusahaan swasta, selalu kekurangan tenaga bermutu tinggi. Di dunia bisnis saya tahu persis, mendapatkan 2 atau 3 pegawai baru dari 2.000-an pelamar setingkat S1 adalah peristiwa rutin. Artinya, ada problem kualitas yang amat besar dalam sistem pendidikan tinggi kita.

Maka inilah gugatan kita: Mengapa mahasiswa diluluskan padahal belum bisa berpikir dan berbahasa dengan runtut? Mengapa orang diberi gelar sarjana padahal sekadar bekerja profesional pun tidak bisa? Mengapa keluaran universitas tidak mampu berkerja menggunakan metoda ilmiah yang rigor dan koheren? Mengapa mereka disebut magister dan doktor tapi tidak mampu memproduksi karya-karya ilmiah seperti artikel, makalah, buku, dan laporan kecuali dulu sebagai persyaratan lulus? Dan di markas besarnya, mengapa ada dosen yang dibiarkan eksis tanpa menulis karya ilmiah padahal ada prinsip publish or perish?

Kualitas rendah adalah ciri pokok apa saja yang disebut ecek-ecek. Saking rendahnya kualitas sarjana di atas tadi, bisa dikatakan hampir tak ada lagi bedanya dengan sarjana ecek-ecek. Dan ini tentu mengundang dugaan nakal lainnya. Jangan-jangan sejak awal memang ecek-ecek belaka. Ada Ebtanas ecek-ecek, NEM ecek-ecek, UMPTN ecek-ecek, kurikulum ecek-ecek, kuliah ecek-ecek, universitas ecek-ecek, dosen ecek-ecek, dan sarjana ecek-ecek.

***

Pada arah sebaliknya, kita harus mempromosikan kembali betapa pentingnya orang biasa, betapa terhormatnya orang bersahaja, betapa mulianya hidup apa adanya. Khususnya, kita perlu mengharg ai orang biasa tetapi mampu berkarya luar biasa. Pramoedya Ananta Toer, Sitor Situmorang, Ajip Rosidi, dan Rendra, adalah contoh insan tidak bergelar, tetapi kualitas karya mereka melebihi karya sarjana, bahkan sudah mencapai tahap empu (maestro) di bidang masing-masing.

Tampil bersahaja namun berkualitas bertambah penting lagi karena masyarakat kita sangat suka pada gincu. Dan gincu bangsa kita sudah terlalu tebal. Alhasil, jadi norak. Buktinya, sekian banyak doktor ekonomi kita tapi ekonomi bangsa ini sangat payah. Sekian banyak sarjana hukum kita tapi nasib dewi keadilan terpuruk di negeri ini. Sekian banyak doktor politik kita tapi kondisi politik republik ini amburadul. Sekian banyak inspektur, komisaris, dan jenderal kita tapi keamanan nusantara rawan di mana-mana. Jadi bukankah kita layak menduga bahwa di balik gelar-gelar mentereng itu sebenarnya tidak ada apa-apa? Kosong tanpa kualitas? Ecek-ecek? Gincu doang?

Kita bukan anti gincu. Tapi marilah mengakui bahwa itu memang gincu. Yang kita tolak adalah klaim bahwa gincu itu rona asli wajah kita. Jadi, marilah memulai kebersahajaan: Jangan lagi pakai gelar-gelar akademis itu. Bukan karena tidak boleh, tetapi dengan tampil bersahaja kita selalu diingatkan bahwa kita belum apa-apa. Kita disadarkan, yang penting itu kualitas ilmunya, bukan gelarnya.

Saya mempunyai buku yang mengoleksi sejumlah surat Einstein dengan ilmuwan sezamannya. Saya takjub, tak sekalipun saya temui tertulis Prof. Dr. Albert Einstein. Cukup ditulis A. Einstein atau Albert Einstein saja. Sangat bersahaja, sangat biasa. Tapi kita belum lupa, Einstein sudah dinobatkan sebagai Man of The Century oleh majalah Time di penghujung tahun 2000 lalu. Artinya, dialah individu yang karena kedalaman ilmunya diakui sebagai penyumbang terbesar terhadap peradaban manusia sepanjang abad ke-20. Jadi, jika kita tidak lagi malu pada diri sendiri, tidak malu lagi pada masyarakat, tidak malukah kita kepada Einstein?

Kini Indonesia terpuruk dengan utang ratusan milyar dolar. Sebab fundamentalnya, menurut saya, ialah karena kita tidak bersedia hidup bersahaja apa adanya. Sebaliknya kita kepingin keren dan hebat, punya ini punya itu, kelihatan begini kelihatan begitu. Lalu kita membeli gincu mahal-mahal dengan utang kiri kanan. Maka pasak pun semakin besar sementara tiang semakin kecil.

Maka sekali lagi, marilah sederhana dan bersahaja: Gelar No, Ilmu Yes!

Tidak ada komentar: