GEMPABUMI tektonik yang mengguncang Daerah Yogyakarta dan sekitarnya pada hari Selasa (9 November 2010) memiliki episenter di Samudera Hindia 112 kilometar arah selatan Pantai Paragtritis. Menurut BMKG gempabumi ini berkekuatan 5.6 Skala Richter (SR) dengan kedalaman 10 kilometer.
Getaran gempabumi ini dirasakan di Bantul dan Yogyakarta cukup kuat, diperkirakan dalam skala intensitas III-IV Modified Mercally Intensity (MMI). Dilihat dari kedalaman hiposenternya, gempabumi ini memberi informasi adanya aktivitas sesar aktif di laut sebelah selatan Parangtritis.
Timbul banyak tanda tanya dibenak warga terkait meningkatnya aktivitas gempabumi di Yogyakarta akhir-akhir ini. Fenomena apakah yang sedang terjadi dibalik sangat aktifnya kondisi tektonik Yogyakarta ini? Jika merujuk catatan Gempabumi Yogyakarta selama 4 bulan terakhir, sudah terjadi 8 kali gempabumi tektonik dirasakan, sehingga perlu kiranya dilakukan identifikasi tipe kegempaan sebagai langkah untuk antisipasi bahaya gempabumi.
Tipe Gempabumi
Kiyoo Mogi (1966), ahli seismologi Jepang membagi gempabumi tektonik ke dalam 3 (tiga) kelompok berdasarkan tipenya. Pertama adalah tipe gempabumi utama (mainshock) yang diawali oleh gempabumi-gempabumi kecil sebagai gempabumi pendahuluan (foreshocks). Kedua adalah tipe gempabumi utama (mainshock) yang kemudian diikuti gempabumi-gempabumi susulan (aftershocks). Ketiga adalah gempabumi swarm yang bermagnitudo kecil yaitu hanya sekitar 2.0 hingga 3.0 SR dan terjadi secara terus-menerus dalam waktu lama.
Jika melihat aktivitas kegempaan yang terus berlangsung di Yogyakarta, ada dugaan peristiwa kegempaan yang terjadi termasuk dalam kelompok tipe pertama, yaitu tipe foreshocks-mainshock. Namun demikian yang melemahkan dugaan ini adalah hingga kini belum ada gempabumi yang dianggap sebagai gempabumi utama.
Peristiwa kegempaan Yogyakarta jika ditimbang dengan gempabumi tipe kedua tampaknya tidak mungkin. Disamping belum ada gempabumi utama, rentetan gempabumi ini pun tidak mencerminkan aktivitas gempabumi susulan. Rentetannya yang cenderung memiliki magnitudo seragam dan tidak menunjukkan gejala menurun makin menguatkan pendapat bahwa aktivitas gempabumi selama ini bukan tipe mainshock-aftershock.
Jika ditimbang dengan kelompok tipe ketiga, Gempabumi Yogyakarta saat ini dipastikan bukan tipe swarm karena rata-rata magnitudonya yang relatif cukup besar, yaitu 4.0 SR bahkan lebih. Karakteristik swarm biasa terjadi di daerah vulkanik aktif, geotermal atau daerah kapur yang kondisi batuannya sangat labil dan mudah patah.
Teka-Teki
Terlepas dari timbangan ketiga tipe-tipe gempabumi di atas, yang pasti peristiwa gempabumi di Yogyakarta selama ini diakibatkan oleh aktivitas sesar aktif. Ini di dasarkan kepada data kedalaman hiposenternya yang kurang dari 15 kilometer. Apalagi jika ditinjau dari pola sebaran seismisitasnya yang membentuk sebuah klaster memanjang berarah baratdaya-timurlaut, tempak mencerminkan adanya sebuah aktivitas sesar.
Sebaran episentar gempabumi dirasakan akhir-akhir ini cenderung membentuk sebuah pola kelurusan. Jika dikaitkan dengan aftershocks menurut Walter et al., (2007) dan Meilano et al. (2006), tampak ada korelasi spasial antara data aftershocks 2006 dengan seismisitas saat ini. Klaster aftershocks menurut kedua peneliti ini memiliki pola kelurusan berarah baratdaya-timurlaut di sebelah timur depresi Bantul. Kelurusan ini merupakan indikasi kuat adanya fenomena sesar aktif di “segmen utara”. Sedangkan aktivitas kegempaan akhir-akhir ini cenderung terletak di “segmen selatan” hingga memasuki Samudera Hindia, yang ditandai gempabumi bermagnitudo 5.6 SR pada hari Selasa lalu.
Gabungan antara data gempabumi 2006 dan data gempabumi terakhir semakin mengokohkan dugaan eksistensi sesar aktif di sebelah timur Sesar Opak. Jika melihat data sebaran episenter terbaru yang terkonsentrasi di sebelah selatan aftershocks 2006, bisa jadi gempabumi kecil yang sering mengguncang Yogyakarta akhir-akhir ini merupakan manifestasi pelepasan tegangan litosfir di “segmen selatan” yang belum seluruhnya terlepas saat gempabumi 2006.
Sepatutnya kita tidak boleh memandang remeh rentetan aktivitas gempabumi dengan magnitudo kecil. Belajar dari ilmuwan Cina yang melakukan pemantauan urutan gempabumi kecil, akhirnya mereka dapat menyelamatkan sekitar 100.000 jiwa penduduk Haicheng pada peristiwa Gempabumi Haicheng 1975.
Apakah aktivitas seismik akhir-akhir ini ini cerminan dari masih tingginya tegangan yang masih tersimpan di zona sesar? Apakah rentetan gempabumi ini merupakan gempabumi pendahuluan yang akan diakhiri dengan sebuah gempa utama? Seluruh kejadian ini masih menjadi teka-teki yang sulit dijawab, sehingga menjadi tantangan bagi para ahli kebumian kita ditengah berbagai kendala yang ada.***
Getaran gempabumi ini dirasakan di Bantul dan Yogyakarta cukup kuat, diperkirakan dalam skala intensitas III-IV Modified Mercally Intensity (MMI). Dilihat dari kedalaman hiposenternya, gempabumi ini memberi informasi adanya aktivitas sesar aktif di laut sebelah selatan Parangtritis.
Timbul banyak tanda tanya dibenak warga terkait meningkatnya aktivitas gempabumi di Yogyakarta akhir-akhir ini. Fenomena apakah yang sedang terjadi dibalik sangat aktifnya kondisi tektonik Yogyakarta ini? Jika merujuk catatan Gempabumi Yogyakarta selama 4 bulan terakhir, sudah terjadi 8 kali gempabumi tektonik dirasakan, sehingga perlu kiranya dilakukan identifikasi tipe kegempaan sebagai langkah untuk antisipasi bahaya gempabumi.
Tipe Gempabumi
Kiyoo Mogi (1966), ahli seismologi Jepang membagi gempabumi tektonik ke dalam 3 (tiga) kelompok berdasarkan tipenya. Pertama adalah tipe gempabumi utama (mainshock) yang diawali oleh gempabumi-gempabumi kecil sebagai gempabumi pendahuluan (foreshocks). Kedua adalah tipe gempabumi utama (mainshock) yang kemudian diikuti gempabumi-gempabumi susulan (aftershocks). Ketiga adalah gempabumi swarm yang bermagnitudo kecil yaitu hanya sekitar 2.0 hingga 3.0 SR dan terjadi secara terus-menerus dalam waktu lama.
Jika melihat aktivitas kegempaan yang terus berlangsung di Yogyakarta, ada dugaan peristiwa kegempaan yang terjadi termasuk dalam kelompok tipe pertama, yaitu tipe foreshocks-mainshock. Namun demikian yang melemahkan dugaan ini adalah hingga kini belum ada gempabumi yang dianggap sebagai gempabumi utama.
Peristiwa kegempaan Yogyakarta jika ditimbang dengan gempabumi tipe kedua tampaknya tidak mungkin. Disamping belum ada gempabumi utama, rentetan gempabumi ini pun tidak mencerminkan aktivitas gempabumi susulan. Rentetannya yang cenderung memiliki magnitudo seragam dan tidak menunjukkan gejala menurun makin menguatkan pendapat bahwa aktivitas gempabumi selama ini bukan tipe mainshock-aftershock.
Jika ditimbang dengan kelompok tipe ketiga, Gempabumi Yogyakarta saat ini dipastikan bukan tipe swarm karena rata-rata magnitudonya yang relatif cukup besar, yaitu 4.0 SR bahkan lebih. Karakteristik swarm biasa terjadi di daerah vulkanik aktif, geotermal atau daerah kapur yang kondisi batuannya sangat labil dan mudah patah.
Teka-Teki
Terlepas dari timbangan ketiga tipe-tipe gempabumi di atas, yang pasti peristiwa gempabumi di Yogyakarta selama ini diakibatkan oleh aktivitas sesar aktif. Ini di dasarkan kepada data kedalaman hiposenternya yang kurang dari 15 kilometer. Apalagi jika ditinjau dari pola sebaran seismisitasnya yang membentuk sebuah klaster memanjang berarah baratdaya-timurlaut, tempak mencerminkan adanya sebuah aktivitas sesar.
Sebaran episentar gempabumi dirasakan akhir-akhir ini cenderung membentuk sebuah pola kelurusan. Jika dikaitkan dengan aftershocks menurut Walter et al., (2007) dan Meilano et al. (2006), tampak ada korelasi spasial antara data aftershocks 2006 dengan seismisitas saat ini. Klaster aftershocks menurut kedua peneliti ini memiliki pola kelurusan berarah baratdaya-timurlaut di sebelah timur depresi Bantul. Kelurusan ini merupakan indikasi kuat adanya fenomena sesar aktif di “segmen utara”. Sedangkan aktivitas kegempaan akhir-akhir ini cenderung terletak di “segmen selatan” hingga memasuki Samudera Hindia, yang ditandai gempabumi bermagnitudo 5.6 SR pada hari Selasa lalu.
Gabungan antara data gempabumi 2006 dan data gempabumi terakhir semakin mengokohkan dugaan eksistensi sesar aktif di sebelah timur Sesar Opak. Jika melihat data sebaran episenter terbaru yang terkonsentrasi di sebelah selatan aftershocks 2006, bisa jadi gempabumi kecil yang sering mengguncang Yogyakarta akhir-akhir ini merupakan manifestasi pelepasan tegangan litosfir di “segmen selatan” yang belum seluruhnya terlepas saat gempabumi 2006.
Sepatutnya kita tidak boleh memandang remeh rentetan aktivitas gempabumi dengan magnitudo kecil. Belajar dari ilmuwan Cina yang melakukan pemantauan urutan gempabumi kecil, akhirnya mereka dapat menyelamatkan sekitar 100.000 jiwa penduduk Haicheng pada peristiwa Gempabumi Haicheng 1975.
Apakah aktivitas seismik akhir-akhir ini ini cerminan dari masih tingginya tegangan yang masih tersimpan di zona sesar? Apakah rentetan gempabumi ini merupakan gempabumi pendahuluan yang akan diakhiri dengan sebuah gempa utama? Seluruh kejadian ini masih menjadi teka-teki yang sulit dijawab, sehingga menjadi tantangan bagi para ahli kebumian kita ditengah berbagai kendala yang ada.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar