Cekungan Bengkulu adalah salah satu cekungan forearc di Indonesia. Cekungan forearc artinya cekungan yang berposisi di depan jalur volkanik (fore - arc; arc = jalur volkanik). Tetapi, kita menyebutnya demikian berdasarkan posisi geologinya saat ini. Apakah posisi tersebut sudah dari dulu begitu? Belum tentu, dan inilah yang harus kita selidiki. Publikasi-publikasi dari Howles (1986), Mulhadiono dan Asikin (1989), Hall et al. (1993) dan Yulihanto et al. (1995)—semuanya di proceedings IPA baik untuk dipelajari soal Bengkulu Basin.
Berdasarkan berbagai kajian geologi, disepakati bahwa Pegunungan Barisan (dalam hal ini adalah volcanic arc-nya) mulai naik di sebelah barat Sumatra pada Miosen Tengah. Pengaruhnya kepada Cekungan Bengkulu adalah bahwa sebelum Misoen Tengah berarti tidak ada forearc basin Bengkulu sebab pada saat itu arc-nya sendiri tidak ada.
Begitulah yang selama ini diyakini, yaitu bahwa pada sebelum Miosen Tengah, atau Paleogen, Cekungan Bengkulu masih merupakan bagian paling barat Cekungan Sumatera Selatan. Lalu pada periode setelah Miosen Tengah atau Neogen, setelah Pegunungan Barisan naik, Cekungan Bengkulu dipisahkan dari Cekungan Sumatera Selatan. Mulai saat itulah, Cekungan Bengkulu menjadi cekungan forearc dan Cekungan Sumatera Selatan menjadi cekungan backarc (belakang busur).
Sejarah penyatuan dan pemisahan Cekungan Bengkulu dari Cekungan Sumatera Selatan dapat dipelajari dari stratigrafi Paleogen dan Neogen kedua cekungan itu. Dapat diamati bahwa pada Paleogen, stratigrafi kedua cekungan hampir sama. Keduanya mengembangkan sistem graben di beberapa tempat. Di Cekungan Bengkulu ada Graben Pagarjati, Graben Kedurang-Manna, Graben Ipuh (pada saat yang sama di Cekungan Sumatera Selatan saat itu ada graben-graben Jambi, Palembang, Lematang, dan Kepahiang). Tetapi setelah Neogen, Cekungan Bengkulu masuk kepada cekungan yang lebih dalam daripada Cekungan Sumatera Selatan, dibuktikan oleh berkembangnya terumbu-terumbu karbonat yang masif pada Miosen Atas yang hampir ekivalen secara umur dengan karbonat Parigi di Jawa Barat (para operator yang pernah bekerja di Bengkulu menyebutnya sebagai karbonat Parigi juga). Pada saat yang sama, di Cekungan Sumatera Selatan lebih banyak diendapkan sedimen-sedimen regresif (Formasi Air Benakat/Lower Palembang dan Muara Enim/Middle Palembang) karena cekungan sedang mengalami pengangkatan dan inversi.
Secara tektonik, mengapa terjadi perbedaan stratigrafi pada Neogen di Cekungan Bengkulu—yaitu Cekungan Bengkulu dalam fase penenggelaman sementara Cekungan Sumatera Selatan sedang terangkat. Karena pada Neogen, Cekungan Bengkulu menjadi diapit oleh dua sistem sesar besar yang memanjang di sebelah barat Sumatera, yaitu Sesar Sumatera (Semangko) di daratan dan Sesar Mentawai di wilayah offshore, sedikit di sebelah timur pulau-pulau busur luar Sumatera (Simeulue-Enggano). Kedua sesar ini bersifat dextral. Sifat pergeseran (slip) yang sama dari dua sesar mendatar yang berpasangan (couple strike-slip atau duplex) akan bersifat trans-tension atau membuka wilayah yang diapitnya. Dengan cara itulah semua cekungan forearc di sebelah barat Sumatera yang diapit dua sesar besar ini menjadi terbuka oleh sesar mendatar (trans-tension pull-apart opening) yang mengakibatkan cekungan-cekungan ini tenggelam sehingga punya ruang untuk mengembangkan terumbu karbonat Neogen yang masif asalkan tidak terlalu dalam.
Di cekungan-cekungan forearc utara Bengkulu (Mentawai, Sibolga, Meulaboh) pun berkembang terumbu-terumbu Neogen yang masif akibat pembukaan dan penenggelaman cekungan-cekungan ini. Dan, dalam dunia perminyakan terumbu-terumbu inilah yang sejak akhir 1960-an telah menjadi target-target pemboran eksplorasi. Sayangnya, sampai saat ini belum berhasil ditemukan cadangan yang komersial, hanya ditemukan gas biogenik dan oil show (Dobson et al., 1998 dan Yulihanto, 2000—proceedings IPA untuk keterangan Mentawai dan Sibolga Basins).
Cekungan Bengkulu merupakan salah satu dari dua cekungan forearc di Indonesia yang paling banyak dikerjakan operator perminyakan (satunya lagi Cekungan Sibolga-Meulaboh). Meskipun belum berhasil menemukan minyak atau gas komersial, tidak berarti cekungan-cekungan ini tidak mengandung migas komersial. Sebab, target-target pemboran di wilayah ini (total sekitar 30 sumur) tak ada satu pun yang menembus target Paleogen dengan sistem graben-nya yag telah terbukti produktif di Cekungan-Cekungan Sumatera Tengah dan Sumatera Selatan.
Cekungan Bengkulu akan merupakan harapan pertama untuk penemuan minyak di sistem Paleogennya. Sumur terdalam di cekungan ini yang dibor oleh operator Fina pada tahun 1992 (Arwana-1) menemukan oil shows dan menembus sedimen Oligo-Miosen yang berkualitas baik sebagai batuan induk minyak. Kemudian, berdasarkan data sumur ini pula, diketahui bahwa termal cekungan ini panas (4,5-5 F/100 ft) sebuah anomali bagi “cool basin“—sebutan yang terkenal untuk Cekungan-cekungan forearc.
Gradient geothermal yang besar ini merupakan anomali pada sebuah forearc basin yang rata-rata di Indonesia sekitar 2.5 F/100 ft atau di bawahnya (Netherwood, 2000); Bila dibandingkan cekungan forearc lain, memang banyak publikasi menyebutkan thermal Cekungan Bengkulu di atas rata-rata. Itu pula yang dipakai sebagai salah satu pemikiran bahwa Cekungan ini dulunya bersatu dengan Cekungan Sumatera Selatan (pada Paleogen)—pemikiran yang juga didukung oleh tatanan tektonostratigrafinya.
Gradient geothermal dipengaruhi konduktivitas termal masing-masing lapisan pengisi cekungan dan heatflow dari basement di bawah cekungan. Apabila basementnya kontinen, maka ia akan punya heatflow yang relatif lebih tinggi daripada basement intermediat dan oseanik. Selain itu, kedekatan dengan volcanic arc akan mempertinggi thermal background di wilayah ini dan berpengaruh kepada konduktivitas termal. Gradient geothermal yang diluar kebiasaan ini, tentu saja baik bagi pematangan batuan induk dan generasi hidrokarbon.
Sekuen syn-rift dan post-rift di cekungan ini belum tertembus, di situlah harapan akumulasi migas berada. Diperlukan data seismik yang lebih baik untuk target dalam dan diperlukan sumur-sumur dalam untuk menembus target-target Paleogen.
Selain data seismik, rembesan minyak dipermukaan juga menjadi data yang sangat berharga apabila bisa diplot di peta geologi permukaan yang cukup detail, lalu dilihat penampang geologinya. Nanti akan diketahui dari batuan mana rembesan itu berasal. Yang tak kalah penting adalah melakukan serangkaian analisis geokimia kepada rembesan minyak itu, hal ini akan memberi tahu kita sifat batuan induk yang telah menggenerasikan minyak tersebut.
Sejarah tulisan ini:Tulisan tentang Cekungan Bengkulu ini diawali dari kiriman Pak Awang HS pada medio Maret 2009 di iagi-net yang berupa jawabannya terhadap pertanyaan seorang mahasiswa tentang cara terbentuknya Cekungan Bengkulu. Kiriman ini ditanggapi oleh beberapa orang anggota milis. Dengan demikian, para anggota milis iagi-net yang berkontribusi—baik bertanya maupun menjawab—dalam diskusi mengenai Cekungan Bengkulu ini adalah: Awang HS, Junrial Hairul Huzaen, Bayu Nugroho dan Sigit Prabowo. Terima kasih juga untuk Yorris Wibriana atas informasinya tentang gambar setting tektonik regional Sumatra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar